Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa di akhir tahun 2016, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi (Perma No. 13 Tahun 2016) yang pembentukannya didorong oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Memang sebelum dikeluarkannya Perma No. 13 Tahun 2016 ini Kejaksaan Agung telah melakukan penututan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, baik dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup maupun tindak pidana korupsi dan beberapa dari perkara tersebut telah diputus oleh pengadilan.
Dan, terhadap korporasi telah dikenakan pidana, seperti dalam Putusan Pengadilan Mahkamah Agung No. 787K/PID.SUS/2014 dalam perkara tindak pidana korupsi PT Indosat Mega Media.
Akan tetapi KPK belum pernah melakukan penuntutan terhadap korporasi.
Oleh karena itu lahirnya Perma No. 13 Tahun 2016 tersebut patut diapresiasi guna memberi pedoman dan mendorong para aparat penegak hukum untuk berani menindak serta memproses korporasi sebagai pelaku tindak pidana untuk kemudian menghadapkannya di muka peradilan sebagai terdakwa.
Beberapa ketentuan dalam Perma No. 13 Tahun 2016 patutlah diapresiasi.
Salah satunya adalah ketentuan yang tidak hanya membatasi pertanggungjawaban pidana korporasi hanya pada kesalahan dari pengurus korporasi saja tetapi diperluas pihak di luar pengurs korporasi yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan keputusan suatu korporasi yang melakukan tindak pidana.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 10 Perma No. 13 Tahun 2016. Dalam hal ini Perma No. 13 Tahun 2016 mengadposi doctrine identification di mana pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi ditentukan pada siapa yang memiliki peranan penting dalam mengendalikan korporasi, sehingga penuntut umum harus dapat mengidentifikasikan bahwa perbuatan individu tersebut dipandang sebagai perbuatan korporasi.
Individu tersebut tidak hanya sebatas pada pengurus korporasi tetapi individu yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut. Ketentuan ini sangat sejalan dengan konsep beneficial ownership yang sudah mulai diterapkan dalam beberapa peraturan di dunia internasional dan di Indonesia seperti Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/ 28 /PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
Hal ini memungkinkan untuk dapat meminta pertanggungjawaban pidana baik korporasi maupun individu yang merupakan beneficial owner dari korporasi tersebut.
ketentuan ini tidak lepas dari banyaknya paper company dan vehicle company yang memang sengaja dirikan untuk melakukan tindak pidana dan sebagai tameng untuk memutus pertanggungjawaban pidana.
Di sisi lain, terdapat catatan penting terhadap ketentuan-ketentuan dalam Perma No. 13 Tahun 2016 yaitu pranata “perseroan terbatas” dalam ketentuan Perma No. 13 Tahun 2016 ini. Dalam konsep hukum pidana korporasi didefinisikan sebagai kumpulan orang atau harta kekayaan baik yang berbentuk badan hukum dan non badan hukum. Definisi itu pula yang diatur dalam berbagai undang-undang hukum pidana dan non hukum pidana yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukumnya dan Perma No. 13 Tahun 2016 mengadopsi definisi tersebut.
Akan tetapi jika dikaji lebih jauh, ketentuan-ketentuan dalam Perma No. 13 Tahun 2016 merupakan ketentuan dalam kerangka korporasi yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 1 angka 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 yang memuat definisi tentang korporasi induk, perusahaan subsidiari, penggabungan, peleburan, pemisahan dan pembubaran yang mana istilah dan definisi tersebut berasal dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Kerangka definisi dalam perseroan terbatas tersebut diatur guna mencangkup semua bentuk korporasi, baik yang berbentuk badan hukum dan non-badan hukum.
Akibatnya, terjadi kerancuan dan inkonsistensi dalam penyusuan ketentuan-ketentuan selanjutnya seperti dalam Pasal 6, di mana istilah yang digunakan bukan lagi perusahaan subsidiari namun korporasi subsidari.
Memang benar nafas besar dari lahirnya Perma No. 13 Tahun 2016 adalah untuk dapat melakukan penindakan hukum bagi korporasi-korporasi besar yang melakukan tindak pidana.
Didalam melakukan tindak pidana tersebut digunakan skema yang berlapis-lapis dengan konsep beneficial ownership dengan mendirikan paper company dan vehicle company di mana sebagian besar dari bentuk korporasi yang dipergunakan dalam tindak pidana tersebut adalah badan hukum dengan bentuk perseroan terbatas.
Selain itu memang bentuk badan hukum yang paling umum dan banyak didirikan dalam melakukan kegiatan usaha adalah perseoran terbatas yang tidak jarang pula dipergunakan sebagai wadah untuk melakukan tindak pidana.
Akibatnya pembentuk Perma No. 13 Tahun 2016 lebih menekankan korporasi sebagai badan hukum dengan bentuk perseroan terbatas.
Timbul pertanyaan: bagaimana Perma No. 13 Tahun 2016 ini dapat diterapkan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas maupun non-badan hukum.
Apakah akan efektif dan aplikatif. Tentunya ini menjadi pertanyaan yang harus bisa terjawab dengan melihat bagaiman penerapan Perma No. 13 Tahun 2016 ini dalam perkara-perkara tindak pidana korporasi yang akan ditindak di masa setelah diberlakukannya perma no.13 tahun 2016. (Arthur)
Posting Komentar