Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Gerai Hukum Art & rekan berpendapat bahwa ketika mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan sering terdengar putusan hakim amar putusannya berbunyi “menyatakan menolak gugatan penggugat” dan “menyatakan gugatan tidak dapat diterima” (niet ontvankelijke verklaard).
Sekilas tidak ada perbedaan secara bahasa tetapi secara yuridis terdapat perbedaan makna yang sangat mendasar.
Di kalangan praktisi hukum bunyi amar tersebut tidak asing lagi, namun di masyarakat umum tidak banyak yang memahami.
Gugatan memiliki syarat materil dan syarat formil.
Syarat formil kaitannya dengan formalitas penyusunan gugatan, seperti kelengkapan identitas para pihak, kompetensi pengadilan baik relatif maupun absolute, legal standing, kejelasan objek gugatan dan lain-lain.
Sedangkan syarat materil berkaitan dengan materi gugatan tentang dasar fakta atau uraian fakta yang mendasari diajukan gugatan, dasar hukum, hubungan hukum dan lain-lain.
Susunan gugatan pada pokoknya terdiri dari judul, pengadilan tempat didaftarkanya gugatan, para pihak, posita gugatan, pundamentum petendi dan petitum gugatan.
Sebagai tambahan gugatan harus ditandatangani oleh inperson atau kuasanya, disertai dengan materai, tempat dan tanggal.
Yang akan dinilai oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Hakim pastinya akan menilai apakah gugatan telah memenuhi syarat formil dan syarat materil.
Parameter penilaian syarat formil, misalnya tentang kompetensi pengadilan baik kompetensi absolut maupun kompetensi relatif, apakah perkara yang diajukan masuk dalam wilayah juridiksi pengadilan atau tidak (kompetensi relatif), atau apakah perkara masuk di dalam lingkup kewenangan pengadilan (kompetensi absolut).
Putusan niet ontvankelijke verklaard atau “tidak dapat diterima” kebanyakan disebabkan oleh beberapa hal, yakni
1.Error inpersona;
2.Error in objecto;
3.Gugatan obscuur libel;
4.Gugatan Nebis in idem;
5.Gugatan di luar juridiksi
absolute dan relative; dll.
Hakim akan memeriksa dan menilai syarat materil gugatan.
Ini berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang diuraikan di dalam gugatan, penilaian berlandaskan kepada hukum pembuktian.
Sejauh mana dan sekuat apa bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannyan. Contohnya :
jika penggugat mendalilkan hak miliknya atas tanah dan bangunan maka penggugat berkewajiban menghadirkan bukti surat dan atau saksi yang menyatakan hak miliknya itu.
Jadi, dalam proses persidangan, hakim sudah masuk kepada pokok-pokok tuntutan dalam gugatan.
Gugatan yang diputus dengan putusan “gugatan tidak dapat diterima” maka gugatan dapat dikatakan gugatan cacat formil. Untuk itu upaya hukumnya dapat mengajukan gugatan kembali dengan memperbaiki kesalahan atau kecacatannya. Dan dapat melakukan upaya hukum banding, kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Jika sampai dengan PK putusan tidak berubah maka penggugat dapat mengajukan gugatan kembali.
Sedangkan gugatan yang diputus dengan “menyatakan gugatan ditolak” disebabkan penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, maka upaya hukumnya adalah banding, kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).
Dalam hal ini, hakim sudah sampai pada tarap memeriksa kekuatan dan relevansi alat bukti, artinya pemeriksaan sudah masuk pada pokok perkara. (Arthur)
Posting Komentar