Jakarta- pedulinusantaranews.com,– Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Pesuli Nusantara jakarta berpendapat bahwa, Masyarakat-masyarakat adat di Indonesia dapat digolongkan sebagai indigenous peoples sebagaimana dimaksudkan secara khusus dalam Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang diresmikan pada tahun 2007.
Selain terkandung secara khusus dalam Declaration on the Rights of Indigenous Peoples itu, hak masyarakat adat juga terkandung dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Sedangkan hak atas tanah merupakan isu yang juga tersebar di beberapa isu yang lain seperti masyarakat adat, hak atas perumahan, dan perempuan.
Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, hak atas tanah disetarakan dengan istilah right to property.
Bagi masyarakat adat, hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak yang memberikan eksistensi bagi masyarakat adat dalam rangka memperoleh harkat dan martabatnya.
Hak ekosob mencakup beberapa hal:
a.Mencakup berbagai masalah utama yang dialami masyarakat adat sehari-hari menyangkut kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup komunitas.
b.Hak ekosob tak dapat dipisahkan dengan hak asasi manusia lainnya.
c.Hak ekosob mengubah kebutuhan-kebutuhan masyarakat adat menjadi hak yang harus dipenuhi.
Hak ekosob yang paling esensial bagi masyarakat adat adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self determination) dan hak atas tanah dan sumber daya alam (right to land and natural resources).
Kedua hak ini penting karena tergolong sebagai hak-hak kolektif yang menjadi dasar/landasan perjuangan masyarakat adat.
Hak kolektif itu terkait dengan tiga hal berikut ini : kepentingan untuk mempertahankan identitas budaya dan bahasa dari suatu komunitas tertentu, kepentingan untuk mendapatkan perlindungan atas hak atas tanah dan sumber daya alam, dan penentuan nasib sendiri yang bersifat politis dan hukum.
Hak-hak tersebut terkandung dalam bagian pertama pasal 1 ayat 1 Kovenan Ekosob:
Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri atas kekuatan itu, mereka dengan bebas menentukan status politiknya dan bebas mengejar perkembangan ekosob mereka sendiri”
Sedangkan hak atas sumber daya alam terdapat dalam bagian I pasal 2 ayat 2: Semua bangsa dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumberdaya mereka sendiri, tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama ekonomi internasional.
Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya sendiri.
Kedua hak kolektif tersebut terdapat dikuatkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 1803 (XVII) 1962 yang menyatakan bahwa kedaulatan permanen atas sumber daya alam merupakan konsekuensi logis dari hak penentuan nasib sendiri.
Hak-hak masyarakat adat dalam kebijakan nasional dimuat dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang, dan UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 I ayat 3 yang berbunyi: identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Selain itu, perlindungan terhadap masyarakat adat juga terdapat dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 6 ayat 1 dan 2. Pasal 6 ayat 1 berbunyi:
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
Sementara ayat 2 menyebutkan:
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Selama Indonesia di masa Orde Baru berkuasa (1966-1998), masyarakat adat tidak diakui keberadaannya apalagi hak-haknya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alamnya.
Beberapa kebijakan Orde Baru tersebut diantaranya: UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No.11/1967 tentang Pertambangan.
Pada masa ini, pemerintah juga meneruskan klaim kolonial Hindia Belanda terhadap penguasaan hutan melalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Pada masa ini juga dikeluarkan Inpres No. 1/1976 dan Undang‐undang No. 5/1979 tentang Desa yang bisa dibaca sebagai niat Orde Baru untuk menghilangkan hak ulayat masyarakat adat.
Inpres No. 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum.
Pada bagian VI tentang Pelaksanaan Status Hak Tanah, khususnya di angka 3 dan 4 menyebutkan bahwa:
Dalam hal sebidang tanah yang dimaksud pada ad.ii terdapat tanah yang dikuasai penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak yang sah, maka hak itu dibebaskan terlebih dahulu oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak tersebut untuk kemudian dimohonkan haknya, dengan mengikuti tatacara yang ditetapkan dalam peraturan perundang‐undangan agraria yang berlaku. Sedangkan angka 4 menyebutkan:
Dalam hal pengusahaan areal Hak Pengusahaan Hutan memerlukan penetapan area sehingga mengakibatkan penduduk dan atau masyarakat hutan setempat tidak melaksanakan hak adanya, maka Pemegang Hak Pengusahaan Hutan harus memberikan ganti rugi kepada penduduk dan atau masyarakat hukum tersebut.
(sebagaimana termuat dalam Rachman, dkk, 2012).
Pada tahun 1999, keluar kebijakan pemerintah yaitu Permenag No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Tetapi peraturan ini mengandung beberapa substansi yang justru merugikan masyarakat adat. Peraturan ini juga tak pernah diimplementasikan.
Pada masa Reformasi, meski terdapat Undang-undang yang mengakui keberadaan masyarakat adat yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, beberapa kebijakan pemerintah masa Reformasi masih tetap menegasikan hak-hak masyarakat adat. Beberapa UU di bidang sumber daya alam terkait adalah: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18/2004 tentang Perkebunan. Pasal-pasal pidana dalam perundang-undangan tersebut telah berhasil memenjarakan mencerabut hak-hak masyarakat adat atas tanahnya dan bahkan memenjarakan mereka. contoh, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Desa Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat karena memberlakukan hukum adat berupa denda kepada perusahaan yang menggusur lahan masyarakat.
Beberapa upaya masyarakat adat melalui AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan masyarakat sipil/NGOs untuk meninjau kembali keberadaan pasal-pasal tersebut telah berhasil.
MK telah membatalkan pasal 21 dan pasal 47 ayat 1 dan 2 UU No.18/2004 tentang Perkebunan melalui Judicial Review yang dilakukan PiLNet.
Sedangkan AMAN telah berhasil membuat gebrakan monumental dengan dibatalkannya pasal 1 angka 6 UU Kehutanan melalui judicial review yang dilakukan pada tahun 2012. Putusan MK telah mengkoreksi rumusan Pasal 1 angka 6 sehingga berubah menjadi:
Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Pada Oktober 2015, beberapa NGO yaitu Sawit Watch, SPKS, SPI, API, FIELD, Bina Desa, dan IHCS mengajukan judicial review terhadap UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. MK kemudian memutuskan permohonan dikabulkan sebagian terkait pasal 27 ayat 3, pasal 29, pasal 30 ayat 1, pasal 42, pasal 55, dan pasal 107.
Tetapi, apakah dengan dibatalkannya pasal-pasal kriminalisasi dalam UU Perkebunan tersebut mengakibatkan dihentikannya kriminalisasi? Ternyata tidak.
Data AMAN menyebutkan 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Masyarakat dikenakan pasal-pasal pidana dalam UU No. 41/1999 dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). UU P3H sudah bermasalah sejak awal pembuatannya. Koalisi Masyarakat anti Mafia Hutan sudah sejak awal menolak keberadaan UU ini karena selain pembahasannya secara diam-diam, juga mengandung salah kaprah secara teori hukum pidana. Undang-undang ini dirumuskan dengan ceroboh sehingga memberi ruang terjadinya over kriminalisasi, yakni dipidananya orang yang seharusnya dilindungi hukum. Selain itu, UU ini juga tidak memiliki konsep terhadap kejahatan seperti apa yang hendak dicegah, dan tidak mempunyai arah untuk mengatur mengenai hak-hak apa saja dan siapa-siapa yang hendak dilindungi (Nagara, 2014).
Di luar kasus-kasus kehutanan, terdapat kriminalisasi masyarakat di sektor lain seperti perkebunan dan pertambangan. Di luar perampasan lahan melalui pemberian izin oleh Menteri Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional atau Bupati/Gubernur, modus perampasan lahan yang digunakan adalah, jika PTPN, menambah luasan atau memperluas lahan perkebunan dari luas yang tertera di sertifikat HGU. Jika kawasan hutan, dengan memasukkan wilayah kelola masyarakat adat ke dalam hutan negara.
Sedangkan tindak pidana yang kerap ditujukan pada masyarakat adalah: memasuki tanah PTPN tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dan menguasai tanah tanpa izin. Selain itu, dalam beberapa kasus yang spesifik, masyarakat dituduh merintangi kemerdekaan orang dari bergerak di jalan umum, pengancaman, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan menghentikan aktivitas alat berat.
Sementara itu jika berkaitan dengan perlawanan dengan senjata tajam, masih juga digunakan Pasal 2 UU Drt No.12/1951 tentang kepemilikan senjata tajam.
Pasal-pasal lain yang digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat adat adalah pasal pencurian (363 (1), jo pasal 64 (1) KUHP). Hal ini terjadi pada 9 orang masyarakat adat Kalteng yang dituduh menyadap karet PT SIL.
Beberapa pasal UU 41/1999 yang kerap digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat adat adalah: membawa, menyimpan, mengangkut hasil hutan tanpa disertai dokumen lengkap, dan merambah hutan.
Sementara itu berkaitan dengan UU P3H, pasal-pasal yang kerap dikenakan pada masyarakat adalah: pasal 82 ayat (1) huruf c, pasal 12 huruf c, pasal 94 ayat 1 huruf a dan b.
Dalam kasus-kasus pidana tersebut, vonis yang dijatuhkan majelis hakim rata-rata satu sampai dua tahun penjara.
Jika melihat kasus di atas, ketika terjadi kriminalisasi, praktis seluruh upaya yang dibangun sejak awal untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat menjadi berhenti.
Hampir seluruh kekuatan dikerahkan untuk mendampingi masyarakat yang dikriminalkan. Baik kekuatan seluruh komunitas, para pendamping, paralegal, maupun pengacara masyarakat adat. Penanganan kasus di pengadilan sungguuh menguras tenagwa, waktu, pikiran, dan biaya.
Terlebih jika perkara bergulir di pengadilan, diperlukan biaya besar bagi anggota keluarga yang dikriminalisasi untuk mondar-mandir ke pengadilan menghadiri persidangan.
Belum lagi kalau yang dikriminalkan adalah tulang punggung keluarga.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan akar konflik dan perkembangan baru kebijakan kehutanan perlu dipahami oleh aparat kepolisian:
1.akar konflik adalah perampasan lahan atau wilayah kelola masyarakat adat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, maupun dimasukkannya lahan-lahan masyarakat adat ke dalam hutan negara.
2.mengenai keluarnya putusan MK No.35/PUU/XII/2012 yang disertai dengan kebijakan-kebijakan penetapan hutan adat yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Di wilayah-wilayah yang diindikasikan terjadi konflik berkaitan penguasaan kawasan hutan antara masyarakat dengan hutan yang dikuasai perusahaan maupun hutan negara, harus dihentikan penggunaan pasal-pasal pidana untuk masyarakat adat dikarenakan sedang terjadi proses penyelesaian status hukum atas hutan-hutan masyarakat adat tersebut. Bahkan, terhadap wilayah-wilayah yang sudah jelas status hukumnya sebagai hutan adat, dan terdapat masyarakat adat yang dikriminalkan sebelumnya di lokasi hutan adat itu, harus ada upaya-upaya hukum untuk membebaskan mereka yang sedang disangka, didakwa, ataupun sudah dipidana karena dituduh menempati hutan negara.
3.telah dibatalkannya pasal-pasal pidana (pasal 21 dan 47) dalam UU Perkebunan No. 18/2004 dan juga putusan judicial review UU No. 39/2014 harus menjadi catatan bagi kepolisian untuk menghentikan penangkapan-penangkapan masyarakat yang tengah berkonflik lahan dengan perusahaan perkebunan. Putusan JR UU No. 39/2014 yang berkaitan dengan masyarakat adat antara lain menyatakan anggota masyarakat hukum adat sah untuk mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan. Norma pasal 55 UU Perkebunan yang berbunyi:
Setiap orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah masyarakat atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat dengan maksud untuk usaha perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan; atau memanen dan/atau memungut hasil perkebunan.
Frasa “secara tidak sah” dalam norma pasal a quo, dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK Nomor 31/PUU-V/2007.
MK juga menyatakan bahwa Pasal 50 ayat 3 huruf e juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Pasal 50 ayat 3 huruf e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Pasal 50 ayat 3 huruf I bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
Pasal 50 ayat 3 huruf i tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Pasal 50 ayat 3 huruf i berbunyi: “Setiap orang dilarang: ….i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang”, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Peluang Intervensi di Tataran Kebijakan.
1.Akar konflik lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, tambang, hutan, dan negara adalah diberikannya konsesi-konsesi industri-industri ekstraktif tersebut. Sementara itu pemerintah daerah juga memiliki kewenangan sangat besar dengan memberikan izin-izin lokasi kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif tersebut. Penulis memandang bahwa hal ini adalah pangkal atau akar konflik yang utama. Maka untuk menghentikannya harus dimulai dari menghentikan pemberian-pemberian izin tersebut.
Selanjutnya, pemerintah harus melakukan review dan pencabutan atau pembatalan-pembatalan izin atau hak atas lahan yang terkait konflik dengan masyarakat adat.
2.beberapa rancangan Undang-undang perlu diintervensi oleh masyarakat adat dan kelompok masyarakat sipil seperti: RUU Masyarakat Adat, RUU Kehutanan, dan RUU Pertanahan.
3.Mendorong lebih banyaknya pengakuan-pengakuan hukum mengenai hak atas wilayah adat dan sumber daya alam dalam bentuk peraturan-peraturan di tingkat lokal.
4.Perlu mendorong Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria
Kelima, mendorong Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kepada masyarakat adat yang sedang menjalani proses persidangan maupun yang sudah dipidana. Selain itu, mendorong penghentian kasus-kasus pidana yang sedang ditangani kepolisian dan membebaskan masyarakat adat dari sangkaan pidana.
Rekomendasi
Masyarakat dan para pendampingnya perlu melakukan uji materi kembali untuk dua Undang-undang yaitu UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan dan Perusakan Hutan. Selain itu, harus diperluasnya bantuan hukum untuk masyarakat adat dan memperluas keberadaan paralegal atau pendamping hukum rakyat untuk masyarakat adat. Kedua, perlu ada pendidikan atau penyampaian informasi kepada kepolisian mengenai Putusan MK No. 35, UU Kehutanan, dan UU P3H, serta memberikan pendidikan hak asasi manusia kepada aparat penegak hukum.
(Arthur)
Posting Komentar