Bedanya Pengaduan & Pelaporan

Jakarta- pedulinusantaranews.com,-

Penggelapan.
Gerai Hukum Art & Rekan kami turut prihatin atas permasalahan yang rekan hadapi.
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai dasar hukum yang dipakai dalam kasus penggelapan yaitu Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:

Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan.

Sementara itu, perkara penggelapan yang teman Anda lakukan merupakan suatu delik atau tindak pidana biasa dan bukan delik aduan.
Menurut R. Tresna dalam buku Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang Penting, istilah pengaduan (klacht) tidak sama artinya dengan pelaporan (aangfte), bedanya adalah:

1.Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi syarat.

2.Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.

3.Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, pengaduan di dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan.
bahwa salah satu sifat khusus dari delik aduan (klacht delict) adalah orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan. Sebaliknya, dalam perkara-perkara yang tergolong dalam delik biasa (gewone delict), laporan polisi atas perkara tersebut tidak dapat ditarik kembali ataupun dicabut meski telah ada perdamaian dengan korban/adanya pengembalian kerugian kepada korban.

Mengingat pada dasarnya penggelapan bukan termasuk dalam delik aduan, maka walaupun barang yang digelapkan telah dikembalikan dan sekalipun jika telah terjadi perdamaian dengan korban, hal tersebut tidak menjadi alasan penghapusan kewenangan untuk menuntut terhadap delik tersebut, karena laporan polisi atas perkara tersebut tidak ditarik kembali.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.

Sehingga, walaupun barang yang digelapkan telah dikembalikan oleh pelaku, proses penuntutan penggelapan tidak dapat diberhentikan.

Namun, dengan adanya iktikad baik dari si pelaku, apabila ada perjanjian perdamaian, hal itu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan saat perkara tersebut diperiksa di pengadilan.

Batas Waktu Penyidikan dan Daluwarsanya
Mengenai lamanya tindak pidana tersebut diproses pihak Kepolisian, hal pertama yang dapat dilakukan yaitu mengajukan permintaan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (“SP2HP”) yang ditujukan kepada penyidik.

Dengan adanya SP2HP, teman rekan dapat mengetahui perkembangan proses penyidikan.

Sedangkan terkait jangka waktu penyidikan pada tingkat Kepolisian, hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), namun apabila teman rekan ditahan, maka waktu penahanan oleh penyidik paling lama adalah 20 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang penuntut umum paling lama 40 hari.

Selanjutnya, berkaitan dengan jangka waktu penyidikan, pada prinsipnya penyidikan dilakukan dengan dasar laporan polisi dan surat perintah penyidikan yang di dalamnya memuat waktu dimulainya penyidikan, untuk selanjutnya diterbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (“SPDP”).

Sebelumnya, penyidik wajib membuat rencana penyidikan yang diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang yang harus memuat salah satunya waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan.

Namun, sangat disayangkan dalam Perkapolri 6/2019 maupun KUHAP tidak diatur lebih lanjut mengenai batas waktu pelaksanaan penyidikan.

Hal serupa juga pernah diberitakan dalam Ketidakjelasan Batas Waktu Proses Penyidikan Kembali Dipersoalkan, di mana Majelis Mahkamah Konstitusi (“MK”) menggelar sidang perdana uji materi terkait ketidakjelasan batas waktu proses penyidikan di kepolisian (hal. 1).

Adapun yang diatur adalah SPDP dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

Jika penyidik belum menyerahkan berkas perkara dalam waktu 30 hari kepada Jaksa Penuntut Umum, penyidik wajib memberitahukan perkembangan perkara dengan melampirkan SPDP.

SPDP tersebut memuat:

dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan.
waktu dimulainya penyidikan.
jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik.
identitas tersangka; dan
identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
Namun khusus untuk identitas tersangka, hal ini tidak perlu dicantumkan bila penyidik belum dapat menetapkannya.

Kemudian jika tersangka ditetapkan setelah lebih dari 7 hari diterbitkan Surat Perintah Penyidikan, dikirimkan surat pemberitahuan penetapan tersangka dengan melampirkan SPDP sebelumnya.

Di sisi lain, yang perlu diperhatikan adalah daluwarsa penuntutan pidana untuk kasus penggelapan berdasarkan Pasal 372 KUHP, sebagaimana dijelaskan dalam Masa Daluwarsa Penuntutan Pidana, adalah sesudah 12 tahun. (Arthur)

Dasar Hukum:

1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;

4.Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
 
Referensi:

R. Tresna. Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang Penting, (Jakarta: Tiara Limited), 1959.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama