Sengketa Kepemilikan Empat Pulau Kecil di Perbatasan Nias dan Aceh Perlu Ditangani Secara Bijak dan Terbuka by Hermansyah


Tangerang- merakCyber.com,-  Sengketa kepemilikan empat pulau kecil antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa masalah batas wilayah, meskipun berskala lokal, memiliki dampak yang besar terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan pemerintahan daerah. Pulau-pulau ini, yang menurut sebagian pihak berada di bawah administrasi Kabupaten Nias Barat (Sumut) dan menurut pihak lain termasuk wilayah Kabupaten Simeulue (Aceh), telah memunculkan ketegangan di tengah masyarakat dan pemerintahan lokal.

Dalam menyikapi konflik ini, pendekatan yang harus diambil adalah mengedepankan dialog antar pemerintah provinsi dan melibatkan kementerian terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri dan Badan Informasi Geospasial. Sengketa batas wilayah tidak bisa hanya diselesaikan berdasarkan sejarah klaim administratif sepihak, melainkan perlu mengacu pada data geospasial yang objektif, peta resmi, dan peraturan perundang-undangan.

Selain aspek administratif, pemerintah juga harus memperhatikan dimensi sosial masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut. Identitas budaya, akses pelayanan publik, dan sejarah pemukiman masyarakat harus menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian. Pemerintah daerah tidak boleh membiarkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik kewenangan yang bisa berujung pada konflik horizontal.

Satu hal yang tak kalah penting adalah transparansi informasi kepada publik. Sengketa wilayah kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk membangun narasi politik identitas atau memperkeruh situasi. Oleh karena itu, komunikasi yang terbuka, netral, dan berbasis data sangat penting untuk menjaga kondusivitas masyarakat di kedua wilayah.

Secara prinsip, penyelesaian sengketa batas wilayah harus mengutamakan semangat persatuan dan integritas nasional. Baik Aceh maupun Sumatera Utara adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan setiap bentuk penyelesaian harus mendorong kerja sama antardaerah, bukan memperbesar jurang perbedaan.

Walaupun [12.55, 21/6/2025] Harry Act: Empat pulau yang sempat disengketakan oleh Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) akhirnya selesai.

Sengketa itu berakhir setelah Presiden Prabowo Subianto turun tangan untuk mengumumkan keputusan akhir, pada Selasa (17/6/2025).

Keputusan itu diambil di sela-sela perjalanannya ke Rusia untuk menemui Presiden Rusia Vladimir Putin.

Kepala Negara bahkan menyempatkan diri untuk memimpin rapat langsung secara daring melalui video konferensi 

Sementara peserta rapat hadir langsung di Istana Kepresidenan Jakarta

Mereka adalah Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Mazakir Manaf, dan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution. Prabowo memutuskan bahwa empat pulau yang disengketakan, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, masuk ke dalam wilayah administratif Aceh

Berdasarkan laporan dari Kemendagri, berdasarkan dokumen-dokumen, data-data pendukung kemudian tadi Bapak Presiden memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan pada dasar-dasar dokumen yang telah dimiliki pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki pemerintah adalah masuk ke wilayah administratif wilayah Aceh," kata Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa

Sengketa kepemilikan empat pulau kecil antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa masalah batas wilayah, meskipun berskala lokal, memiliki dampak yang besar terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan pemerintahan daerah. Pulau-pulau ini, yang menurut sebagian pihak berada di bawah administrasi Kabupaten Nias Barat (Sumut) dan menurut pihak lain termasuk wilayah Kabupaten Simeulue (Aceh), telah memunculkan ketegangan di tengah masyarakat dan pemerintahan lokal.

Dalam menyikapi konflik ini, pendekatan yang harus diambil adalah mengedepankan dialog antar pemerintah provinsi dan melibatkan kementerian terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri dan Badan Informasi Geospasial. Sengketa batas wilayah tidak bisa hanya diselesaikan berdasarkan sejarah klaim administratif sepihak, melainkan perlu mengacu pada data geospasial yang objektif, peta resmi, dan peraturan perundang-undangan.

Selain aspek administratif, pemerintah juga harus memperhatikan dimensi sosial masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut. Identitas budaya, akses pelayanan publik, dan sejarah pemukiman masyarakat harus menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian. Pemerintah daerah tidak boleh membiarkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik kewenangan yang bisa berujung pada konflik horizontal.

Satu hal yang tak kalah penting adalah transparansi informasi kepada publik. Sengketa wilayah kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk membangun narasi politik identitas atau memperkeruh situasi. Oleh karena itu, komunikasi yang terbuka, netral, dan berbasis data sangat penting untuk menjaga kondusivitas masyarakat di kedua wilayah.

Secara prinsip, penyelesaian sengketa batas wilayah harus mengutamakan semangat persatuan dan integritas nasional. Baik Aceh maupun Sumatera Utara adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan setiap bentuk penyelesaian harus mendorong kerja sama antardaerah, bukan memperbesar jurang perbedaan.

(Nama : Hermansyah 

Kelas : 02 Huke 0023

Nim : 241010201592)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama