Pencatatan Perkawinan dan Buku Nikah.
Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dijelaskan dalam bagian Penjelasan Umum UU Perkawinan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama dan dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) lebih lanjut mengatur mengenai pencatatan perkawinan.
Hal ini dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 34 ayat (1) UU 23/2006 yang menyakatan bahwa:
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Berdasarkan laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.
Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud masing-masing diberikan kepada suami dan istri.
Pencatatan perkawinan dalam akta perkawinan dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan (“Permenag 19/2018”) akta perkawinan atau akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan.
Setelah perkawinan dicatatkan, pasangan yang menikah akan diberikan buku nikah atau buku pencatatan perkawinan.
Buku pencatatan perkawinan adalah kutipan akta perkawinan.
Apakah Kartu Nikah Menggantikan Buku Nikah
Pasangan suami istri memperoleh buku pencatatan perkawinan (buku nikah) dan kartu perkawinan (kartu nikah).
Kartu nikah atau kartu perkawinan adalah buku pencatatan perkawinan dalam bentuk kartu elektronik.
Berdasarkan penjelasan tersebut kartu perkawinan (kartu nikah) tidak menggantikan buku pencatatan perkawinan (buku nikah).
Karena pada dasarnya baik itu buku pencatatan perkawinan (buku nikah) maupun kartu perkawinan (kartu nikah), keduanya sama-sama merupakan buku pencatatan perkawinan, bedanya adalah kartu nikah adalah buku pencatatan perkawinan dalam bentuk elektronik.
Selain itu, kedua hal tersebut diperoleh pasangan suami istri yang mencatatkan perkawinan.
Perlu diketahui bahwa dalam melakukan pendaftaran, pemeriksaan, dan pencatatan perkawinan dan rujuk melalui aplikasi sistem informasi manajemen perkawinan, dibutuhkan formulir diantaranya adalah akta perkawinan, buku pencatatan perkawinan, kartu perkawinan.
Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin dalam artikel Menimbang Urgensi Penerbitan Kartu Nikah, Lukman membantah tudingan bahwa kartu nikah ini bakal menghapus atau menggantikan keberadaan buku nikah. Sebaliknya, penerbitan kartu nikah sebagai konsekuensi logis dari pengembangan sistem aplikasi manajemen pernikahan (“Simkah”).
Lukman menjamin keberadaan kartu nikah tidak akan meniadakan buku nikah yang selama ini menjadi bukti sah secara hukum atas terjadinya peristiwa hukum pernikahan.
Justru, buku nikah merupakan dokumen resmi dari negara bagi warga negara yang menikah secara sah secara agama dan dicatatkan oleh negara.
Buku nikah tetap terjaga dan tetap ada.
Masih dari sumber yang sama, bagi Lukman, penjelasan rencana penerbitan kartu nikah ini ke publik amat penting. Apalagi, terjadi kerisauan masyarakat di media sosial yang menuding pemerintah berencana menghapus keberadaan buku nikah dengan menggantinya dengan kartu nikah.
Lukman mengatakan seluruh peristiwa pernikahan dan pencatatannya terintegrasi dalam sebuah sistem aplikasi yang bernama Simkah. Nantinya, Simkah tersebut berkaitan dengan data kependudukan dan catatan sipil di dinas Dukcapil di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri (“Kemendagri”).
Dengan demikian, data kependudukan masyarakat dapat terintegrasi dengan baik.
Lukman menambahkan, dengan adanya Simkah ini, mempermudah pencatatan, registrasi, dan memantau pernikahan setiap warga negara di mana, kapan, dan seterusnya.
Sehingga, kita memerlukan adanya kartu nikah ini. (Arthur)
Dasar Hukum :
1.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
3.Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan.
Posting Komentar