Tangerang- merakcyber.com,- Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 tertanggal 25 April 2025, yang menetapkan empat pulau—Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, telah memicu gelombang penolakan dari masyarakat Aceh. Bagi masyarakat Aceh, ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan penyangkalan terhadap sejarah, hukum, dan identitas mereka.
Penetapan tersebut dinilai cacat secara yuridis dan faktual. Dalam konteks hukum dan sejarah, keempat pulau itu telah lama menjadi bagian dari wilayah adat dan perairan tradisional Aceh. Nelayan dari Aceh Selatan hingga Aceh Tamiang telah menggantungkan hidup mereka di sana bahkan sebelum Indonesia merdeka. Peta-peta kolonial dan berbagai dokumen negara pascakemerdekaan—termasuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dan Peta TNI tahun 1978—konsisten menempatkan pulau-pulau ini dalam wilayah Provinsi Aceh.
Tidak hanya itu, selama bertahun-tahun masyarakat di wilayah tersebut membayar pajak kepada pemerintah Aceh, memperkuat bukti hubungan administratif yang sah.
Dari sisi prosedur, patut dipertanyakan apakah Kementerian Dalam Negeri telah menjalankan proses yang transparan dan partisipatif. Berdasarkan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, penetapan batas wilayah seharusnya melibatkan pemerintah daerah, tinjauan historis, dan verifikasi lapangan. Ketika hal-hal ini terabaikan, legitimasi moral dan hukum dari keputusan tersebut patut diragukan.
Lebih dari sekadar batas wilayah, keputusan ini menyentuh aspek sosial dan budaya. Masyarakat di sekitar empat pulau tersebut berbahasa Aceh, memegang budaya Aceh, dan memiliki akar sejarah yang kuat. Penetapan administratif yang tak mempertimbangkan identitas kultural berpotensi mencabut mereka dari akar tradisi dan memperparah perasaan keterasingan.
Isu ini juga tak bisa dilepaskan dari dugaan adanya potensi migas di perairan sekitar pulau-pulau tersebut. Ketertutupan dalam proses pengambilan keputusan justru memperkuat kecurigaan bahwa kepentingan ekonomi telah mengalahkan prinsip keadilan dan keterbukaan.
Kini, Presiden Prabowo telah menetapkan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh. Keputusan ini ditegaskan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pada 17 Juni 2025, berdasarkan dokumen administrasi yang sah dimiliki oleh pemerintah.
Sengketa ini menjadi pengingat bahwa persoalan batas wilayah bukanlah isu teknis semata, melainkan juga soal harga diri daerah. Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, keadilan historis, hukum, dan martabat budaya harus dijunjung tinggi agar tidak ada lagi luka lama yang terbuka kembali di masa depan.
ERIN DAMAYANTI WULANINGRUM ( 241010201854 )
Mahasiswa Universitas Pamulang
Posting Komentar