MERAKCYBER.COM-Setelah hampir terlupakan karena sejak tahu 2003 mencuat RUU Perampasan Aset yang digagas oleh PPATK mengalami ketidak jelasan, Masyarakat kembali mulai mempertanyakan kabar RUU Perampasan asset setelah Mahfud MD yang pada saat menjabat sebagai Menkopulhukam meminta Politisi PDIP – Bambang Wuryanto atau yang dikenal dengan nama Bambang Pacul untuk ikut mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset.
Jawaban Bambang Pacul pada saat itu kemudian menarik perhatian masyarakat dan timbul pertanyaan apakah pemerintah yang tidak serius dalam penanganan kejahatan korupsi ataukah DPR yang tidak serius untuk melakukan pembahasan dan pembahasannya karena kita tahu bahwa efek dari RUU Perampasan asset akan sangat berdampak pada mereka sendiri. Ancaman RUU Perampasan asset dipandang sangat menyeramkan bagi para koruptor karena sejak ditetapkan sebagai tersangka penyidik berhak untuk menyita semua asset yang diduga didapatkan dari hasil kejahatan. Selain itu penerapan pembuktian terbalik dengan membebani pembuktian kepada terdakwa akan cukup menyulitkan bagi terdakwa untuk lolos dari tuntutan dan perampasan asset.
Hal ini akan berbeda dengan penerapan hukum secara normatif seperti sekarang ini yang hanya menggunakan KUHP dan KUHAP sebagai landasan hukum penjatuhan pidana kepada koruptor. Pasal 10 KUHP hanya menempatkan perampasan barang-barang tertentu pada pidana tambahan, sehingga kemudian penerapan Pasal 39 – 42 KUHP tentang cara perampasan akan menunggu putusan pengadilan dan tidak dapat disegerakan. Tidak berbada jauh dengan KUHP lama, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP, juga menempatkan perampasan pada pidana tambahan dengan tatacara perampasan pada pasal 91 – 92.
Kondisi seperti ini tidak akan dikhawatirkan oleh terpidana korupsi karena masih memiliki kesempatan untuk menyembunyikan hasil kejahatan ataupun mendapat sanksi denda yang ringan dan jauh dari besaran kerugian negara yang dilakukan. Sehingga memang tidak ada efek jera bagi para koruptor dan terkesan seperti mendapat previlage dan kebal hukum.
Harapan Masyarakat kemudian mendapat jawaban ketika tahun 2003 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) meratifikasi The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). Menjadi RUU Perampasan Asset dan mulai masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun anggaran 2005 – 2009. Namun bagaikan jauh api dari panggangan RUU ini berulang kali hanya menjadi wacana di tangan DPR hingga sekarang. Upaya pemerintah untuk mendorong RUU tersebut tidak mendapat samasekali dukungan dari DPR bahkan suara mahasiswa yang pernah lantang menyuarakan penolakan terhadap RUU KUHP hilang dan tidak perduli.
Pemberantasan korupsi di Indonesia lalu seakan menjadi impian yang tidak pernah akan terwujud atau bahkan akan menjadi mitos dalam masyarakat modern di Indonesia menggantikan cerita malin kundang, ande-ande lumut dan cerita lainnya. Kekhawatiran ini lahir ketika kita dikagetkan dengan adanya 49 Calon Legislatif yang maju pada Pemilu February 2024 adalah eks terpidana korupsi. Dengan demikian penilaian terhadap kejahatan korupsi bukan sebagai kejahatan yang memalukan bahkan sebaliknya dengan status sebagai terpidana korupsi dapat menaikan popularitas seseorang.
Terlepas dari sifat masyarakat Indonesia yang gampang melupakan kesalahan sesorang ataupun keperdulian masyarakat yang kurang terhadap kasus-kasus korupsi namun sangatlah tidak pantas jika kita memberikan begitu banyak kemudahan kepada para koruptor, karena dengan sikap demikian secara tidak langsung kita memiliki andil dalam melahirkan koruptor-koruptor baru. Dimana seharusnya kita ikut prihatin dengan kondisi yang terjadi seperti pada laporan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan bahwa total jumlah korupsi di Indonesia yang ditemukan sejak 2014 hingga 2023 dan sudah inkrah dalam putusan pengadilan adalah sebesar Rp.233,7 triliun, jumlah ini terus berkembang hingga pada April 2024 ketika kasus PT.Timah mencuat ke permukaan dengan kerugian negara sebesar Rp.271 triliun.
Kopleksitas penanganan korupsi yang terkadang memiliki keterkaitan dengan kejahatan lain seperti Money Laundering menjadi pertimbangan bahwa perlunya diterapkan aturan pidana pencucian uang, hal ini dilakukan agar kerugian keuangan negara yang terjadi akibat praktik korupsi dapat optimal kembali ke kas negara. Ini dilandasi bahwa dapat saja pada kasus korupsi yang dalam proses hukum, tersangka meninggal dunia maka atas atas perintah Undang-Undang proses hukum harus dihentikan karena tidak dapat menuntut orang yang sudah mati, sehingga dengan penerapan perampasan aset dapat lebih dahulu mengamankan uang negara.
Tidak berhentinya kasus korupsi bahkan semakin besar, membuat masyarakat kembali mempertanyakan RUU Perampasan asset. Dengan harapan bahwa pada periode pemerintahan yang baru RUU kembali menjadi prioritas DPR untuk mensyahkan menjadi UU, atau Pemerintah dapat mengambil langkah lain karena dalam pengembalian aset negara diperlukan proses yang lebih efektif yaitu dengan pembuatan aturan perundang-undangan yang komprehensif dan tidak hanya mengandalkan KUHP.
(Red/M.A)
Posting Komentar