Tangerang- merakCyber.com,- Pemerintah Indonesia belakangan ini kembali membuka keran izin operasional bagi sejumlah tambang nikel yang sebelumnya sempat dihentikan atau dibekukan. Langkah ini dilakukan dengan alasan memperkuat cadangan industri hilirisasi nikel dan mendukung ambisi besar Indonesia menjadi pusat produksi kendaraan listrik dunia. Namun, di balik langkah yang tampak progresif ini, tersimpan beragam persoalan yang menuntut perhatian serius: kerusakan lingkungan, konflik agraria, serta ketimpangan distribusi manfaat tambang. Maka, menjadi penting untuk mengkaji ulang: apakah pemberian izin kembali terhadap tambang nikel benar-benar sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan?
Nikel adalah salah satu logam paling vital dalam era modern, terutama untuk baterai lithium-ion yang menjadi komponen utama kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi skala besar. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi tawar luar biasa dalam rantai pasok global energi bersih. Langkah Indonesia melarang ekspor nikel mentah pada 2020 lalu adalah bagian dari strategi hilirisasi yang ambisius, agar nilai tambah terjadi di dalam negeri, bukan di luar.
Dalam konteks inilah, pemerintah menganggap pemberian izin kembali tambang-tambang nikel sebagai sebuah keharusan. Tambang aktif dibutuhkan untuk memasok smelter yang terus bertambah jumlahnya, serta memenuhi kebutuhan industri baterai yan
Di atas kertas, kebijakan ini tampak sangat rasional: memperluas lapangan kerja, meningkatkan penerimaan negara, dan memperkuat posisi Indonesia dalam ekonomi global. Namun, di baliknya tersimpan potensi bahaya laten yang bisa berbalik merugikan bangsa sendiri.
Kerusakan Ekologis dan Konflik Sosial,
aktivitas pertambangan nikel selama dua dekade terakhir telah meninggalkan jejak luka ekologis yang sangat dalam di berbagai daerah, terutama di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Halmahera, dan Papua. Wilayah yang dulunya hutan tropis lebat, kini berubah menjadi lahan bekas galian tambang terbuka (open pit) yang gersang, dengan aliran sungai yang tercemar logam berat, dan kawasan pesisir yang terkena sedimentasi dari limbah tambang.
Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga memengaruhi kehidupan masyarakat adat dan lokal. Mata pencaharian tradisional seperti bertani dan nelayan hancur, ruang hidup menyempit, dan konflik lahan makin meningkat. Tidak sedikit kasus kriminalisasi terhadap warga yang menolak kehadiran tambang di tanah leluhurnya.
Pemberian izin kembali kepada tambang-tambang yang pernah bermasalah tanpa evaluasi yang tegas bisa diartikan sebagai bentuk pembiaran terhadap pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan. Lebih dari itu, hal ini menunjukkan bahwa kepentingan jangka pendek masih seringkali mengalahkan kepentingan jangka panjang, termasuk kelestarian lingkungan dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Kelemahan Pengawasan dan Ketimpangan Manfaat, Salah satu masalah utama dalam sektor pertambangan di Indonesia adalah lemahnya pengawasan. Banyak tambang yang beroperasi tanpa memperhatikan AMDAL secara serius, menyalahi izin lingkungan, hingga membuang limbah ke laut. Pengawasan dari pemerintah daerah kerap terbentur konflik kepentingan dan keterbatasan kapasitas.
Selain itu, manfaat ekonomi dari tambang nikel tidak selalu dirasakan secara adil oleh masyarakat di sekitar lokasi. Alih-alih sejahtera, warga lokal seringkali hanya mendapat dampak negatif: debu, suara bising, air kotor, dan konflik sosial. Sementara itu, keuntungan besar justru dinikmati oleh investor besar, baik domestik maupun asing, yang memegang konsesi tambang dan kendali atas smelter.
Hilirisasi nikel juga dinilai belum sepenuhnya memenuhi harapan. Banyak smelter yang hanya beroperasi pada tahap pemurnian awal, belum sampai ke industri baterai. Bahkan, sebagian besar hasil olahan masih diekspor dalam bentuk bahan setengah jadi ke Tiongkok. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah benar Indonesia sudah mengambil peran penting dalam rantai pasok global atau hanya menjadi pemasok bahan baku yang dikemas lebih rapi?
LINTANG BIMA TAMTAMA ( 241010201349 )
Posting Komentar