PROYEK PEMUTIHAN JEJAK BERDARAH ‘98 by Ajeng Rahma Putri


Tangerang- merakcyber.com, Sudah dua puluh enam tahun berlalu sejak asap kebakaran mengepul di beberapa titik seperti Glodok, Daan Mogot dan Klender namun sampai saat ini peristiwa berdarah itu masih terus membayangi masyarakat, khususnya bagi mereka para korban. Lagi dan lagi publik kembali dikejutkan oleh pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang mengatakan bahwa jejak berdarah di tahun 1998 khususnya pada kasus pemerkosaan adalah fakta sejarah yang keliru, sehingga perlu agar wajah Indonesia bersih dari kasus masa lalu. 

Upaya pemutihan jejak berdarah ini tampaknya menimbulkan kontra bagi hampir seluruh pihak baik korban maupun aktivis. Bagaimana tidak? luka lama mereka yang menjadi korban keganasan dan kebengisan oleh oknum-oknum yang terlibat dalam pemerkosaan, penganiayaan dan bahkan pembunuhan ini masih belum kering. 

Alih-alih ingin mendamaikan bangsa dengan memberikan wajah baru melalui proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, kebijakannya ini justru malah memberikan luka baru bagi mereka dan aktivis yang turut menemani perjuangan para korban. 

Penyangkalan terhadap sejarah yang pernah terjadi pada tahun 1998 malah semakin mempertegas bahwasannya Pelanggaran HAM terhadap kaum minoritas Tionghoa, buruh dan mahasiswa memang pernah terjadi dan ini memperkuat anggapan bahwa negara masih gagal menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalih bahwa narasi pemerkosaan massal tidak didukung oleh data yang kuat, menjadi alasan yang terus diulang selama lebih dari dua dekade.

Menurut Fadli, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pasca-kerusuhan juga tidak memuat data yang lengkap dan spesifik terkait korban, lokasi, maupun pelaku dari peristiwa yang disebut-sebut sebagai “perkosaan massal”.

Pernyataan tersebut terkesan mengabaikan konteks sosiopolitik saat itu, di mana ketakutan, trauma, dan ancaman terhadap korban serta saksi membuat banyak dari mereka bungkam. Fakta bahwa korban enggan untuk maju ke publik bukan berarti kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Justru inilah cerminan dari ketidakmampuan negara memberikan jaminan perlindungan dan rasa aman bagi korban kekerasan seksual, khususnya mereka yang berasal dari komunitas minoritas Tionghoa.

Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dirilis pada bulan Agustus 1998 sebenarnya telah menyebut adanya indikasi kuat bahwa terjadi pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa secara sistematis. Meskipun memang tidak mencantumkan nama korban secara lengkap karena alasan keamanan dan sensitivitas, laporan tersebut tidak menyangkal adanya tindak kekerasan seksual, melainkan menegaskan bahwa penelusuran lebih lanjut perlu dilakukan oleh negara dengan pendekatan yang lebih berpihak kepada korban.

Bahkan Komnas Perempuan dalam laporannya tahun 1999 juga mencatat bahwa sedikitnya 85 perempuan Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998. Laporan ini didasarkan pada kerja investigatif yang mendalam dengan mewawancarai saksi, korban, dan pendamping korban. Laporan tersebut juga menyoroti bagaimana narasi “tidak ada bukti kuat” telah sejak awal menjadi alat untuk melemahkan pengakuan negara terhadap tragedi ini.

Penyangkalan yang dilakukan oleh tokoh publik seperti Fadli Zon justru berpotensi menggerus upaya pemulihan yang selama ini coba dibangun oleh para pendamping korban dan lembaga-lembaga HAM. Pernyataan semacam ini juga membuka ruang bagi lahirnya budaya impunitas, di mana pelanggaran HAM berat dapat begitu saja dilupakan atau dianggap tidak pernah terjadi hanya karena dokumen resmi tidak menyebutkannya secara eksplisit. Padahal, dalam konteks pelanggaran HAM berat, kewajiban negara bukan hanya pada pengungkapan fakta, tetapi juga pada pengakuan, permintaan maaf, dan pemulihan. 

Lebih dari dua dekade telah berlalu, namun luka itu tidak serta-merta hilang. Masyarakat Indonesia terutama generasi muda, berhak mendapatkan gambaran sejarah yang utuh dan tidak dimanipulasi demi kepentingan politik atau kenyamanan penguasa. Penulisan ulang sejarah tidak semestinya menjadi proyek “pemutihan”, melainkan justru harus menjadi proses pencatatan yang jujur, kritis, dan berpihak pada kebenaran. Bila rekonsiliasi adalah tujuan, maka ia harus dimulai dengan pengakuan dan tanggung jawab, bukan penghapusan.


Ajeng Rahma Putri ( 241010200947 ) 

Mahasiswi FH Universitas Pamulang

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama